Selasa, 10 November 2009

PROFIL KH ACHMAD DAHLAN ( 1868-1923)

Kiai Haji Ahmad Dahlan, dilahirkan di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1285 H yang bertepatan tahun 1868 M, dengan nama Muhammad Darwisj. Ayahnya Kiai Haji Abubakar bin Kiai Haji Muhammad Sulaiman yang memiliki garis keturunan sampai ke Maulana Malik Ibrahim, adalah pejabat Kapengulon Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dengan gelar Penghulu Khatib di Masjid Besar Kesultanan. Sedangkan ibunya Nyai Abubakar adalah putri Kiai Haji Ibrahim bin Kiai Haji Hasan juga pejabat Kapengulon Kesultanan di Yogyakarta.
Muhammad Darwisj memperoleh pendidikan agama pertama kali dari ayahnya sendiri. Sambil belajar kepada ayahnya ia menjalani pergaulan dan pendidikan pesantren yang mencerminkan identitas santri. Pada waktu itu masalah identitas menjadi persoalan yang serius di kalangan bumiputra, sehingga boleh dikatakan anak-anak Kauman tidak ada yang berani sekolah Gubernemen, karena akan dicap sebagai kafir. Pandangan yang berkembang masa itu di lingkungan kaum santri terhadap penjajah kolonial Belanda adalah kafir, barang siapa mengikutinya maka ia pun termasuk ke dalamnya. Begitulah jiwa zaman yang dominan saat itu dan sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian masyarakat. Karena itu, Darwisj kecil senantiasa mengaji Alquran, Hadis, Fiqih, dan tata bahasa Arab seperti nahwu, sharaf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Kegiatan itu adalah kebiasaan yang hampir setiap hari dilakukan kalangan anak-anak kiai di Kauman. Di sisi lain kebiasaan kegiatan olahraga seperti bermain sepak bola dan latihan ilmu beladiri berupa pencak silat tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari mereka. Mengaji di surau, shalat berjamaah di masjid dan bermain olah kanuragan adalah menjadi identitas anak Kauman.
Selain itu, kehidupan ekonomi sehari-hari di lingkungan Kauman juga disibukkan dengan bakulan yang pada umumnya berdagang kain batik. Oleh sebab itu, jalinan hubungan dagang antarsudagar kain batik dari berbagai kota sudah lama terbentuk di kalangan mereka. Sejalan dengan itu, di bidang keagamaan yang mereka tekuni pun turut membentuk terciptanya jaringan ulama, kiai di kota-kota di Jawa dan bahkan sampai ke luar Jawa. Begitulah suasana kehidupan masyarakat kampung Kauman yang religius, giat usaha, militan dalam agama, percaya diri dan penuh keramahan yang berlandaskan akhlak mulia, menjadi lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya jiwa kepribadian Muhammad Darwisj.
Ketika Muhammad Darwisj berumur 15 tahun (1883), ia memutuskan berangkat ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Keberangkatannya itu dibiayai oleh kakak iparnya bernama Kiai Haji Soleh. Seorang kiai juga saudagar kaya. Darwisj muda rupanya juga berniat untuk belajar agama Islam secara lebih mendalam lagi di tanah suci. Niatnya untuk belajar segera terlaksana seusai menunaikan ibadah haji, ia pun menetap di Makkah untuk belajar agama dengan sungguh-sungguh. Setelah lima tahun mukim dan menjadi murid para syaikh dan ulama terkemuka di Makkah ia pun pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta. Sepulang dari tanah suci namanya lebih dikenal dengan nama Haji Ahmad Dahlan. la menikah dengan Siti Walidah binti Kiai Haji Fadhil yang terkenal kelak sebagai Nyai Dahlan, yang masih saudara dari garis ibunya. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah beliau memperoleh putra: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Siti Aisjah, Irfan Dahlan, Siti Zuharah.
Selama lima tahun pertama di tanah suci Makkah, Ahmad Dahlan banyak memperoleh pengalaman hidup yang berharga terutama menyangkut soal pemahamannya terhadap perkembangan dunia pemikiran Islam dan informasi tentang keadaan maju mundurnya masyarakat Islam di berbagai belahan dunia. Sebagai seorang pribadi yang cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas, walau usianya baru dua puluhan tahun, ia pun mulai merintis jalan pembaruan di kalangan umat Islam. Misalnya membetulkan arah kiblat shalat pada masjid yang dipandang tidak tepat arahnya yang sesuai perhitungan menurut ilmu falakiyah yang dikuasainya. Usaha ini sempat menimbulkan insiden yang hampir saja ia dan istrinya meninggalkan Kauman Yogyakarta selama-lamanya menuju luar kota. Kemudian memberikan pelajaran agama di sekolah negeri yang tidak pernah dilakukan oleh kiai lainnya. Menganjurkan memberikan perhatian terhadap kaum dhu'afa, anak yatim, kehidupan dan perlindungan lahir batin, serta untuk kalangan fakir miskin. Hal ini diajarkan supaya dipraktikkan oleh murid-muridnya yang selalu setia mengaji kepadanya, tapi beliau tetap saja mengulang-ulang menerangkan surat Al-Ma'un. Sehingga menimbulkan protes di kalangan muridnya. Setelah dijelaskan lalu pengajian dibubarkan dan muridnya membawa pulang ke rumahnya masing-masing anak yatim untuk disantuni secukupnya. Pembaruan perilaku keagamaan yang sesuai dengan ajaran Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Saw. secara lurus dan senang beramal shaleh merupakan semangat yang selalu disampaikan kepada sahabat dan muridnya di berbagai tempat.
Dengan bekal kemampuan yang dimilikinya Kiai Dahlan muda yang mulai sibuk dengan pekerjaan pembaruannya ia tetap menekuni sejumlah kitab yang menjadi literatur wajib di pondok pesantren di tanah Jawa. Selain membaca dan mempelajari kitab-kitab kuning karangan ulama klasik, kitab-kitab terbitan baru yang dikarang oleh ulama mutakhir diikuti dengan saksama bahkan dilakukan studi perbandingan. Di antara kitab-kitab yang sempat tercatat sebagai kesukaan serta disebut-sebut sebagai bacaan yang memberi inspirasi beliau dalam perjuangan yang dipilihnya kemudian ialah: Kitab Tauhid, Tafsir Juz 'Amma dan Al-Islam wan Nashraniyyah, karangan Syaikh Moh. Abduh; Tafsir al-Manar dan Majalah Al-'Urwatul Wutsqa, karangan Sayid Rasyid Ridha; Kitab Kanzul ‘Ulum; Kitab-kitab Fil Bid'ah, antara lain. Kitab Attawassul wal Wasilah karangan Ibnu Taimiyyah; Dairatul Ma'arif karangan Farid Wajdi; Kitab Idharulhaq karangan Rahmatullah Al-Hindi; Kitab-kitab Hadis karangan Ulama Mazhab Hambali; Tafshilun Nasyatain Takhsilus Sa 'adatain; Matan AI-Hikam li 'Athaillah; Al-Qashaid 'Ath-Thasiyah, Li 'Abdullah Al-Aththas, dan lain-lain.
Sikap dan perilaku Kiai Dahlan yang berhaluan modernis itu mulai dikenal secara luas sebagai orang muda yang rasional dan kritis terhadap agama. Kehadirannya telah menarik perhatian sejumlah kalangan kiai di sekitarnya dan kalangan priyayi yang terlibat pergerakan dan pendidikan. Dahlan muda yang selalu haus terhadap ilmu agama tersalurkan keinginannya untuk menambah kedalaman pengetahuannya dengan cara berguru ngaji kepada sejumlah kiai. Di antaranya kepada Kiai Mohamad Nur, kakak iparnya sendiri, Kiai Haji Said, Kiai Mukhsin, Kiai Abdulhamid di Lempuyangan, R. Ng. Sosrosugondo (ayahanda dari Ir. Suratin tokoh sepak bola), dan R. Wedana Dwijosewoyo. Dalam hal belajar ilmu hadis ia berguru kepada Kiai Makhfudh dan Syaikh Khaiyat. Dalam mempelajari ilmu falak ia belajar kepada Kiai Haji Dahlan dari Semarang putra dari Kiai Termas yang juga menantu Kiai Saleh Darat dari Semarang, juga memperoleh bimbingan dari Syaikh Mohamad Jamil Jambek dari Bukittinggi.
Ketekunannya terhadap ilmu agama dan keprihatinannya terhadap keadaan umat Islam yang ia jumpai di berbagai kota di Jawa telah memperkuat semangat belajarnya untuk lebih mendalam lagi serta meneguhkan cita-citanya agar segera melakukan perubahan kehidupan keagamaan. Karena itulah pada tahun 1902, ketika usianya menginjak 34 tahun, beliau memutuskan berangkat lagi ke Makkah. Kesempatan ini ia betul-betul pergunakan waktunya untuk meningkatkan kefaqihan agamanya dan memantapkan pendirian hatinya menjalani hidup untuk berkhidmat menegakkan agama serta memperbaiki umat Islam di tanah air. Himmah yang bersemayam di dalam hati sanubarinya telah mempertemukan dirinya dengan ulama besar dari Mesir Syaikh Rasyid Ridha melalui kerabatnya yang telah lama menetap di Makkah, yaitu Kiai Haji Baqir. Pertemuannya dengan Syaikh Rasyid Ridha di Makkah telah ia gunakan untuk belajar dan berdiskusi secara langsung tentang pembaruan yang dilakukan di Mesir, serta lainnya. Rupanya dua tahun bermukim di Makkah untuk yang kedua kalinya ini banyak dilakukan perjumpaan dengan berbagai ulama besar yang berasal dari tanah air yang menganjurkan gerakan pembaruan keagamaan, seperti dengan Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, dan lainnya. Setelah dua tahun lamanya menimba ilmu ia merasa cukup memperoleh bekal tambahan, segeralah Kiai Haji Ahmad Dahlan kembali ke tanah air tepatnya pada tahun 1904. Namun, beberapa waktu kemudian sekembalinya ia dari Makkah ayahnya meninggal dunia dan Kiai Haji Ahmad Dahlan diangkat sebagai pejabat agama (Penghulu) di lingkungan Kapengulon Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Khatib Amin.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa jaringan ulama di Jawa dan luar Jawa itu sudah terbentuk secara baik. Hal ini dirasakan betul oleh Kiai Dahlan. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 hubungan Kiai Haji Ahmad Dahlan dengan para kiai, ulama di kota-kota di Jawa sangat erat dan semakin meningkat. Kunjungan silaturahmi yang dilakukannya selalu disambut dengan semangat munculnya kebangkitan agama di kalangan umat Islam. Apa yang dilakukan itu rupanya telah meningkatkan kesadaran intelektual, spiritual dan emosional keagamaan para kiai, ulama yang bersenyawa dengan kesadaran yang sama yang merebak dalam hati sanubari masyarakat secara luas. Himmah yang kuat untuk melakukan pembaruan masyarakat, akhirnya diwujudkannya dengan pendirian lembaga pendidikan keagamaan. Lembaga pendidikan ini rupanya sebagai wadah kemunculan organisasi pergerakan yang terus merebak di kota-kota besar di Jawa, seperti Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan di Minangkabau. Apa yang dilakukan oleh tokoh agama dan kalangan kaum terpelajar di berbagai kota di Jawa dan luar Jawa, telah mempercepat reformasi keagamaan, kemasyarakatan, dan politik pada waktu itu. Berdirinya Jamiatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Dagang Islam yang kelak kemudian berubah menjadi Syarikat Islam, langsung atau tidak langsung telah menyentuh dan menggerakkan perasaan pribadi Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Perlu dipahami pula bahwa Kiai Haji Ahmad Dahlan selain menjabat sebagai Khatib Amin di Kapengulon ia juga sebagai ulama yarig berhaluan modern, guru pendidik agama Islam yang lembut, serta organisator yang cerdas dan tangkas. la dipercaya untuk mengajarkan dasar-dasar agama Islam di sekolah-sekolah negeri, seperti di sekolah guru atau Kweekschool sering disebut Sekolah Raja di Jetis Yogyakarta; Sekolah Pamong Praja atau Osvia (Opleidingschool voor Inlandsch Ambtenaren) di Magelang, dan lainnya. Dengan tugas-tugas yang dilakukannya itu telah memperluas lingkungan pergaulannya yang sangat bermanfaat bagi terlaksananya gagasan yang sedang dipikirkannya, Pengalaman terlibat dalam dunia sekolah dan cita-citanya yang ingin memperbarui umat Islam lewat perubahan pemikiran, sikap dan perilaku memutuskan bahwa ia hams segera mendirikan sekolah agama, tetapi juga di dalamnya diajarkan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum.
Setelah melakukan shalat istikharah berulang kali dan menyampaikan gagasan-gagasannya kepada beberapa orang sahabat dan sejawatnya yang aktif dalam pendidikan dan pergerakan Budi Utomo akhirnya ia memperoleh ilham mendirikan sebuah sekolah dengan nama "Sekolah Muhammadiyah" yang tidak hanya mengajarkan agama, tetapi ilmu pengetahuan umum dan huruf latin. Selanjutnya bagaikan bola salju yang digelindingkan maka makin lama makin besar bola itu. Demikian pula dengan perkumpulan atau Organisasi Persyarikatan Muhammadiyah yang baru didirikan (8 Zulhijjah 1330 H /18 November 1912 M) di Yogyakarta, segera disambut hangat oleh para kiai dan ulama di berbagai kota di Jawa dan Minangkabau. Maka segeralah berdiri cabang-cabang Muhammadiyah di sejumlah kota tersebut, dan terutama di Yogyakarta sendiri. Berbagai kelompok pengajian dan perkumpulan lalu bergabung dan menjadi bagian/ranting dari organisasi Persyarikatan Muhammadiyah yang dipimpinnya.
Sejak itu Kiai Haji Ahmad Dahlan bersama para murid dan sahabatnya sangat gigih memperjuangkan dan melakukan reformasi agama di lingkungah umat Islam khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya yang pada waktu itu sedang terbelenggu oleh takhayul, bid'ah dan khurafat serta sinkretisme. Kehidupan umat Islam yang terbungkus dalam sikap taqlidisme, feodalisme, konservatisme dan tradisionalisme dipandang menjadi sebab keterbelakangan dan ketertinggalannya dibanding dengan umat lain dan harus segera ditinggalkan umat Islam. Selain itu kondisi bangsa Indonesia juga terpuruk dalam belenggu penjajahan kolonialisme Belanda. Ketulusikhlasan yang mendasari gerak perjuangannya ternyata menumbuhkembangkan modernitas bangsa Indonesia sekaligus mengembalikan kesadaran baru untuk melaksanakan agama secara murni dan lurus pada masa-masa selanjutnya.
Perjuangan Kiai Haji Ahmad Dahlan dan sejumlah kiai, ulama terpandang di berbagai wilayah di Jawa dan Sumatra serta tempat lainnya bagaikan fajar yang mulai menyinari gelapnya bumi. Mereka secara intensif melakukan silaturahmi dari kota satu ke kota lain berdiskusi dan menyampaikan dakwah, pengajian di pelosok-pelosok kota. Mereka terlibat dalam gerakan pembaruan sosial keagamaan dan pendidikan. Itulah sebabnya para kiai dan ulama tidak bisa dipisahkan dengan gemuruhnya bunyi lonceng kebangkitan nasional yang terus membahana. Dengan dilandasi niat yang tulus ikhlas para ulama dan kiai bersungguh-sungguh menyampaikan gagasan-gagasan keagamaan secara kritis dan cerdas ke tengah masyarakat guna memperbarui perilaku dan cara pandang keagamaan masyarakat yang dirasakan masih bercampur aduk dengan kepercayaan lokal.
Lebih jauh mengenai latar belakang didirikannya perkumpulan Muhammadiyah oleh Kiai Dahlan antara lain karena beliau tergerak ingin mewujudkan perintah Allah yang selalu ditelaahnya dan disampaikan kepada muridnya. Seperti Surat Ali Imran [3]: 104 yang artinya,
Adakanlah di antara kamu segolongan umat yang menyuruh manusia kepada keutamaan dan menyuruh berbuat kebajikan serta mencegah berlakunya perbuatan yang munkar. Umat yang berbuat demikian itulah yang akan berbahagia.
Sebuah dialog yang perlu dikemukakan di sini ialah ketika Kiai Dahlan menyebut Muhammadiyah sebagai nama organisasi perkumpulan yang dibentuknya itu, ternyata menjadi pertanyaan murid dan juga kadernya yang bernama Soedja'. "Kiai, mengapa Kiai mengambil nama itu, kedengarannya seperti nama untuk seorang wanita." Kemudian dijawab oleh Kiai Dahlan bahwa "Muhammadiyah itu bukanlah nama perempuan, melainkan berarti umat Muhammad, pengikut Muhammad utusan Tuhan Yang Maha Penghabisan." Tujuan yang ingin diwujudkan ialah menghimpun kembali umat Islam untuk mengikuti jejak Nabi Besar Muhammad Saw., menegakkan kembali kemurnian agama Islam, membersihkan tauhid dari segala macam takhayul, bid'ah dan khurafat yang menjangkiti kehidupan umat Islam pada waktu itu.
Pada awal mula berdirinya Muhammadiyah, kedudukan Kiai Haji Ahmad Dahlan sendiri menjadi ketuanya, sekretarisnya Haji Abdullah Sirat yang juga menjabat Kiai Penghulu, dibantu oleh Mas Ngabehi Djojosugito sebagai sekretaris dan Muhamad Husni sebagai komisaris. Tokoh-tokoh lainnya yang duduk dalam kepengurusan pusat ialah Haji Ahmad, Haji Abdurrahman, Raden Haji Sarkawi, Haji Muhammad, Raden Haji Djaelani, Haji Anies dan Haji Muhamad Fakih.
Sekalipun gagasan dan pergerakan yang telah didirikan KH.A. Dahlan bersama sejumlah sahabat dan muridnya itu memperoleh dukungan dan sambutan yang luas, tapi dijumpai pula sejumlah pihak yang menentang dan berusaha menggagalkannya. Bahkan dari pihak internal keluarganya sendiri pun ada yang menyayangkan keputusan Kiai Dahlan itu. Mereka tidak pernah melupakan peristiwa konfliknya dengan Kanjeng Penghulu Kamaludiningrat, menyangkut pembetulan arah kiblat shalat masjid besar Kauman yang dilakukan murid-muridnya, sehingga menyebabkan dirobohkannya surau yang didirikan sebagai tempat shalat dan kegiatan pengajian KH.A. Dahlan. Sebenarnya sebagai kiai muda yang memiliki pengetahuan yang luas ketika melihat hal yang tidak benar tentang arah kiblat shalat telah berusaha menjelaskan kepada para kiai sepuh, tapi kewibawaan Kiai Dahlan muda rupanya belum bisa menundukkan wibawa kiai sepuh yang ada. Sehingga ketika Kiai Dahlan mendirikan masjid untuk dirinya yang sesuai dengan arah kiblat menurut ilmu falakiah yang dikuasainya mendapat reaksi dari kiai sepuh dengan merobohkannya rata dengan tanah. Beruntunglah waktu itu kakak iparnya Kiai Haji Soleh segera menenteramkan hatinya yang kecewa berat dan dapat menghiburnya sehingga ia mengurungkan niatnya untuk pergi meninggalkan Kauman. Sebagian penentangnya mengatakan bahwa apa yang dilakukan Kiai Dahlan dengan lembaga pendidikannya dipandang telah menyimpang dari ajaran Islam, telah murtad dari garis ajaran agama yang benar. Lebih dari itu beliau dikatakan telah menjadi Kiai Kristen, karena telah mendirikan sekolah dengan cara baru, yaitu melaksanakan pengajaran sekolah dengan bangku, papan tulis, mengizinkan orang laki-laki bersembahyang dengan celana panjang tanpa sarung. Demikianlah perjuangan yang dihadapi oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan beserta para murid dan sahabatnya.
Sampai akhir hayatnya (wafat tahun 1923) Kiai Haji Ahmad Dahlan menjadi Ketua Pusat Muhammadiyah. Dengan bendera Muhammadiyah yang dikibarkannya sejak 1912 telah melakukan banyak pekerjaan besar bagi kemajuan dan masa depan umat Islam. Bahkan hingga saat hari-hari akhir hayatnya ketika beliau menderita sakit keras, kemudian dinasihatkan untuk istirahat di pegunungan Gunung Bromo, Pasuruan, beliau tidak mau meninggalkan pekerjaan amar ma 'ruf nahi munkar. la memberikan pengajian kepada masyarakat yang dijumpainya. Ketika kembali ke Yogyakarta dan menderita sakit lagi, Kiai Dahlan diingatkan agar mau istirahat dari kegiatan-kegiatannya. Diingatkan oleh istrinya yang setia mendampinginya seakan-akan tidak percaya, sehingga Kiai Dahlan bertanya, "Mengapa saya harus istirahat?" Dijawab oleh istrinya,"Kiai lagi sakit, perlu istirahat, menunggu sembuh!" Namun, apa jawab Kiai Dahlan,"Ajaib benar, semua orang menyuruh aku berhenti beramal, tidak saya pedulikan, kini giliran engkau ikut pula seperti mereka!" Meneteslah air mata sang istri dan sambil menjelaskan maksudnya bahwa bila nanti kiai telah sembuh maka dapat bekerja lagi dengan lebih giat. Akhirnya Kiai Dahlan mengatakan, "Saya mesti bekerja keras, untuk meletakkan batu pertama daripada amal yang besar ini. Kalau sekiranya saya lambatkan ataupun saya hentikan, lantaran sakitku ini, maka tidak ada orang yang akan sanggup meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa, bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan selekas mungkin, maka yang tinggal sedikit itu, mudahlah bagi yang di belakang nanti untuk menyempurnakannya." Demikianlah ungkapan hati Kiai Dahlan di akhir hayatnya.
Kalimat lain yang sangat populer ialah pesannya agar "hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup pada Muhammadiyah" dimaksudkan supaya kader Muhammadiyah mau bekerja keras melanjutkan perjuangan dan membesarkan Persyarikatan Muhammadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar